Rabu, 25 Januari 2012

Ujian Menuju Surga




 Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu ujian seperti yang telah menimpa kepada orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka yang ada kaitannya dengan perekonomian dan kesengsaraan yang ada kaitannya dengan diri dan keluarga, serta digoncangkan dengan bermacam-macam ujian seperti bencana alam, sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Kapankah datangnya pertolongan Allah?"
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan".
Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang sangat kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia sangat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui, Firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah:214 di atas merupakan kata pengantar yang menjelaskan surga tidak bisa diraih dengan mudah, tetapi harus melalui berbagai ujian dan cobaan.
Menurut ayat diatas, soal-soal ujian itu hanya ada tiga macam:
Pertama, Al-Ba sa'. Yaitu ujian yang ada kaitannya dengan masalah harta atau kekayaan, sebagai kebutuhan seluruh manusia, yang bisa menjadi sarana untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah. Semua ibadah itu tidak terlepas dari harta, apalagi ibadah haji dan umrah.
Kalau ibadah sholat ingin tenang, maka masjidnya terlebih dahulu harus dibiayai dengan harta, pun demikian dengan pendidikan anak, kalau ingin maju harus dibiayai oleh ibu bapaknya.
Kita banyak berharap. punya anak sholeh tetapi bermodalkan kemalasan, itu sama saja dengan memacing ikan berumpan dari biji salak. Kita ingin punya rumah tangga yang tentram dan damai serta istri tetap setia juga harus pakai biaya.
Kadang-kadang kita menuntut istri seperti bintang film, cantik nan rupawan, tetapi modal buat kosmetiknya hanya cukup untuk membeli bedak.
Ke surga itu tidak ada yang gratis, tetapi butuh ongkos dan modal. Di samping itu, harta juga bisa menjadi musibah, jalan tol menuju neraka jahanam. Al-Qur'an menampilkan profil manusia yang celaka dan yang lulus dalam menghadapi ujian hidup.
Fir'aun dan Qorun atau Abu Lahab dan Abu Jahal adalah profil manusia celaka karena harta, Nabi Yusuf profil manusia istiqomah tidak tergoda oleh wanita yang siap menyerahkan kehormatan dan harta kekayaannya, beliau lebih memilih masuk penjara dari pada harus berselingkuh dengan istri orang. Para pejabat di zaman sekarang ini juga banyak yang mengikuti Nabi Yusuf masuk penjara tetapi karena mengkorup dan merampok uang Negara.
Kedua, Adldlorro. Disebut setelah Al-Ba sa' sebab kenyataannya manusia sering mengutamakan membela kekayaan daripada keselamatan diri dan keutuhan keluarganya. Kakak beradik bisa saling bermusuhan karena memeperebutkan harta warisan, dengan tetangga tidak akur karena membela batas-batas tanah dan lain-lain.
Badan kita tidak akan selamanya sehat, tetapi suatu saat pasti akan sakit, setelah sakit mungkin bisa sembuh atau terus kembali kepada Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, robahnya situasi diri dan keluarga jangan menjadi penyebab robahnya keimanan yang bisa menggagalkan kita meraih surga.
Ketiga, Zulzilu. Ujian yang biasanya datang di luar dugaan dan sangkaan pikiran manusia. Gunung meletus, banjir, atau Tsunami, kemarau panjang, gempa itu merupakan ujian gabungan antara Al-Ba sa' dan Adldlorroyang sering membuat kita terpisah dengan harta dan keluarga yang kita cintai.
Pada ayat di atas, digambarkan saking beratnya suatu ujian, maka Rasul dan orang-orang yang beriman berkata meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa, Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang mencontoh Rasulakan diberi jalan keluar ketika menghadapi ujian.
Hidup di dunia ini, betapapun kaya dan berkuasanya kita, tetap tidak bisa sendirian, tetapi butuh bantuan orang lain. Makanan enak bisa dibuat tetapi nikmat makan itu anugerah dari Allah SWT., rumah indah dan megah, kamar tidur di buat nyaman sedemikian rupa, tetapi nikmat tidur itu belum tentu dapat kita rasakan.
Kadang-kadang nikmat tidur baru kita rasakan ketika khotib sedang berkhutbah. Mengapa Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kita, ketika menikahkan anak itu harus mengundang orang-orang terutama yang miskin, sebab membangun rumah tangga itu tidak bisa olaeh berdua, tetapi perlu do'anya dari orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Kalau kita sudah bisa berbuat kebajikan kepada orang tua, handai tolan, tetangga, anak-anak yatim atau orang-orang yang membutuhkan bantuan, maka besar harapan kita dapat diselamatkan oleh do'anya orang-orang yang pernah kita bantu.
Rasulullah SAW. mengisahkan ada tiga orang yang terperangkap di dalam gua, mereka bisa keluar dari gua itu karena orang pertama selalu berbakti kepada kedua orang tuanya, yang kedua bisa menjaga syahwat, dan yang ketiga menyayangi para karyawannya yang miskin.
Kalau mengukur tenaga, tidak akan mungkin tenaga ketiga orang itu mendorong batu yang menutupi pintu gua, tetapi amal shaleh yang pernah mereka perbuatlah yang menjadi tenaga dikabulkannya do'a.
Sudah saatnya, kita programkan minimal 2.5 persen dari penghasilan kita setiap bulannya diserahkan ke lembaga Amil Zakat agar lebih maslahat, jangan sekali-kali muzaki merangkap amilin, membagi zakat sendiri langsung kepada fakir miskin.
Membagikan zakat sendiri disamping tidak mencontoh sunnah, juga lebih besar madlaratnya, terjerumus ke dalam riya. Ayat ke 215 ditutup kalau seseorang berbuat kebajikan yang tidak diketahui orang lain, jangan takut hilang, sebab terhadap amal itu Allah Maha Mengetahuinya. Wallahu a'lam. (A. Mukhsin).
Sumber : Buletin "USWAH" Buletin Dakwah dan Informasi Pusdai Jabar.



 

Lahir dari Keluarga Muslim, Haruskah Syahadat Lagi?

Seluruh manusia hakikatnya sudah beriman (muslim)  sejak lahir karena di alam ruh mereka (kita, manusia) sudah mengakui Allah SWT sebagai Tuhan.
 "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi   mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya beriman), 'Bukankan Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan'" (QS: Al-A'raf[7]: 172).
Para orang tua atau lingkunganlah yang dapat mengukuhkan keislaman itu, atau mengubahnya menjadi penganut agama lain.
 "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits shahih tersebut Nabi Muhammad Saw tidak menyebut nama "Islam", secara tidakk langsung mengukuhkan bahwa manusia sejak lahir itu Islam/Muslim. Fitrah yang dimaksud adalah beriman Islam(Muslim).
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS: Al-Rum: 30). 
Sebab itulah, Rasulullah Saw juga tidak memerintah seorang pun diantara mereka kaum muslimin agar membaca syahadat lagi (syahadat ulang) saat ia balig. Lagi pula, jika kita ada dalam keluarga Muslim, sejak kecil biasanya kita sudah belajar shalat dan mengaji, dan berlanjut hingga dewasa (akil balig).
Paling tidak setiap Muslim mengucapkan syahadat tiap hari dalam shalat. Paling tidak, kita baca syahdat 9 kali saat “tasyahud” dalam shalat, yaitu 2 kali dalam shalat Dzhuhur, 2 kali dalam shalat Ashar, 2 kali dalam shalat Maghrib, 2 kali dalam shalat Isya’ dan 1 kali dalam shalat Subuh, Jika ditambah shalat sunat, tentu jumlah syahadat juga bertambah.
Syahadat hanya diucapkan orang kafir yang masuk Islam, tepatnya kembali ke fitrahnya sebagai manusia beriman (Islam) sebagai tanda dirinya masuk Islam.
Sejauh ini, kita tidak menemukan dalil atau catatan sejarah, yang dhoif sekalipun, yang menunjukkan bahwa anak-anak para sahabat Nabi, para tabi’in, para ulama salaf, dan setiap generasi Muslim sepanjang 14 abad lalu, pernah melakukan syahadat lagi/syahadat ulang.
Jika ada sebuah kelompok yang mewajibkan syahadat kepada anggotanya, maka biasanya itu kelompok sempalan. Mereka tidak punya satu pun dalil Al-Qur’an, Hadits, ataupun Ijma dan Ijtihad ulama salaf, juga contoh dari para sahabat. Biasanya kelompok demikian menganggap orang di luar kelompoknya sebagai kafir. Karenanya sekali lagi, tidak ada istilah syahadat ulang. Wallahu a’lam.
Sumber: Bulletin "USWAH" Bulletin Dakwan dan Informasi Pusdai Jabar


Senin, 23 Januari 2012

Tujuh Tanda Cinta kepada Allah SWT

Banyak orang mengaku cinta Allah SWT, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki.
Ujian pertama, ia mesti tidak membenci tentang mati, karena tak ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu "teman"nya.
Nabi Muhammad Saw bersabda : "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya".
Memang benar, seorang pecinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyesuaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.
Ujian keikhlasan yang kedua, seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah, mesti berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah, dan mesti menjauhikan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia bearada jauh dari Allah.
Perbuatan dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintai-Nya sepenuh hati. Wali Fudhail berkata pada seseorang : "Jika seseorang bertanya kepadaku, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah, karena jika engkau berkata : "Saya tidak mencintai-Nya," maka engkau menjadi seorang kafir, dan jika engkau berkata : "Ya, saya mencintai Allah, padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu" .
Ujian yang ketiga, dzikrullah (mengingat Allah) mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat, dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan kepada Allah-lah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu yang lain.
Ujian yang keempat, ia akan mencintai Al-Qur'an yang merupakan firman Allah dan Muhammad Nabiyullah, jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua makhluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisannya.
Ujian kelima, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu, maka cintanya tidak sempurna.
Allah berkata kepada Daud a.s. : "Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu : orang-orang bernafsu mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika  telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.
Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan sembahyang di malam hari, tetapi ketika tahu seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu.
Allah memerintahkan Daud a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya : "Engkau telah mencampurkan kecintaan seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepadaKu, maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan".
Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.
Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata : "Selama 30 tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku".
Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan beribadah.
Ujian ketujuh, pecinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat. sebagaimana kata Al-Qur'an : "Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya". Nabi Muhammad saw pernah bertanya kepada Allah : "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya pun datang : "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak kepada ibunya, yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya, dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun".
(Sumber : Imam Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan/The Alchemy of Happiness).
(Disadur dari : Bulletin Dakwah dan Informasi Pusdai Jabar).






 

Senin, 16 Januari 2012

Islam Melarang Ramalan dan Khurafat

Oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi

Nabi Muhammad Saw datang dan dijumpainya di tengah-tengah masyarakat, ada sekelompok manusia tukang dusta yang disebut kuhhan (dukun) dan arraf (tukang ramal). Mereka mengaku dapat mengetahui perkara-perkara ghaib, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang, dengan jalan mengadakan hubungan dengan jin dan sebagainya.
Justru itu Rasulullah Saw kemudian memproklamirkan perang dengan kedustaan yang tidak berlandaskan ilmu, petunjuk maupun dalil syara'.
Rasulullah membacakan kepada mereka wahyu Allah yang berbunyi: "Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi melainkan Allah semesta." (An-Naml: 65)
Bukan malaikat, bukan jin dan bukan manusia yang mengetahui perkara-perkara ghaib.
Rasulullah juga menegaskan tentang dirinya dengan perintah Allah SWT sebagai berikut: "Kalau saya dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya saya dapat dapat memperoleh kekayaan yang banyak dan saya tidak akan ditimpa suatu musibah; tidak lain saya hanyalah seorang (Nabi) yang membawa khabar duka dan khabar gembira untuk kaum yang mau beriman." (QS. Al-A'raf: 188)
Allah memberitahukan tentang jinnya Nabi Sulaiman sebagai berikut: "Sungguh andaikata mereka (jin) itu dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya mereka tidak kekal dalam siksaan yang hina." (QS. Saba: 14)
Oleh karena itu, barangsiapa mengaku dapat mengetahui perkara ghaib yang sebenarnya, berarti dia mendustakan Allah, mendustakan kenyataan dan mendustakan manusia banyak.
Sebagian utusan pernah datang ke tempat Nabi, mereka menganggap bahwa Nabi adalah salah seorang yang mengaku dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka menyembunyikan sesuatu di tangannya dan berkata kepada Nabi: "Tahukah tuan apakah ini?" Maka Nabi menjawab dengan tegas: "Aku bukan seorang tukangtenung, sebab sesungguhnya tukang tenung serta seluruh tuukang tenung di neraka,"


Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur
 Islam tidak membatasi dosa hanya kepada tukang tenung dan pendusta saja, tetapi seluruh orang yang datang dan bertanya serta membenarkan ramalan dan kesesatan mereka itu akan bersekutu dalam dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: "Barangsiapa datang ke tempat juru ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan apa yang dikatakan, maka sembahyangnya tidak akan diterima selama 40 hari." (Riwayat Muslim)
"barangsiapa datang ke tempat tukang tenung, kemudian mempercayai apa yang dikatakan, maka sesungguhnya dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik dan kuat)
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw itu mengatakan, bahwa hanya Allahlah yang mengetahui perkara ghaib, sedang Nabi Muhammad Saw sendiri tidak mengetahuinya, apalagi orang lain.
Firman Allah: "Katakanlah! Saya tidak berkata kepadaKu kepadamu, bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah, dan saya tidak dapat mengetahui perkara ghaib, dan saya tidak berkata kepadamu bahwa saya adalah malaikat, tetapi saya hanyalah mengikut apa yang diwahyukan kepadaku," (QS: Al-An'am: 50)
Kalau seorang muslim telah mengetahui persoalan ini dari Al-Qur'an yang telah menyatakan begitu jelas kemudian dia percaya, bahwa sementara manusia ada yang menyingkap tabir qodar dan mengetahui seluruh rahasia yang tersembunyi, maka berarti telah kufur terhadap wahyu yang diturunan kepada Nabi Muhammad Saw.
Sumber: Halal dan Haram dalam Islam oleh Syekh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi. Penerbit: Pt. Bina ilmu, 1993/Media Ismet." 
Sumber: Bulltin "Uswah" Media dan informasi Pusdai Jabar.

Minggu, 15 Januari 2012

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi

Dalam Islam hanya dua hari raya, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya, tidak ada syariatnya sehingga sebagai muslim tidak ada kepentingan apa pun untuk merayakan Tahun Baru Masehi.

Lagi pula, tahun baru Masehi itu hari raya umat Kristiani yang masih satu paket dengan hari Natal. Makanya ungkapan mereka "Selamat Hari Natal dan Tahun Baru." (Merry Chrismas and Happy New Year). Jadi, biarkan mereka yang merayakan, kita jangan ikut-ikutan, namun harus menghormati keyakinan mereka dan tidak boleh mengganggu.

Bagi orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru Masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih. Nama Masehi diambil dari kata Al-Masih, gelar untuk Nabi Isa yang dianggap Tuhan oleh umat Kristen.
Masa sebelum kelahiran Isa Al-Masih dinamakan masa sebelum Masehi (BC = Before Christ).

Seorang muslim diharamkan mengikuti ritual agama selain Islam, termasuk ikut merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi. Fatwa MUI tanggal 7 Maret 1981/ 1 Jumadil Awwal 1401 H menegaskan "Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya Haram. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal."

Merayakan tahun baru Masehi juga dikategorikan "tasyabuh" (menyerupai perilaku suatu kaum). "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban). Wallahu a'lam (Arsip KSI). 

Sumber : Bulletin "USWAH" Bulletin Dakwah dan Informasi Pusdai Jabar

Jumat, 13 Januari 2012

Anak yang meninggal, bantu orang tuanya masuk surga?

Sejumlah hadist shahih menyebutkan, anak kecil (balita atau belum balig) yang meninggal dunia, dan dipastikan masuk surga karena belum mempunyai dosa, bisa membantu orang tuanya di akhirat kelak, selama orang tua tersebut orang beriman. Benar pula bahwa hal itu juga tergantung kelakuan orang tuanya.
Diriwayatkan, seorang sahabat bernama Abu Hissan berkata "Saya mengatakan kepada Abu Hurairah, bahwa dua orang anakku telah meninggal dunia. Adakah berita (hadits) Rasulullah Saw yang dapat engkau sampaikan kepadaku yang dapat menyenangkan hati kami berkenaan dengan anak kami yang meninggal dunia itu?" Abu Hurairah menjawab : Ada! Anak-anak kecil (yang meninggal) menjadi kanak-kanak surga, ditemuinya kedua ibu bapaknya, lalu dipegangnya pakaian ibu bapaknya ~~sebagaimana saya memegang tepi pakaian ini~~ dan tidak berhenti (memegang pakaian) sampai Allah memasukkannya dan kedua ibu bapaknya kedalam surga.(HR. Muslim).
Tiada di antara kalian perempuan yang ditinggal mati tiga anak-anaknya kecuali ketiga anak tersebut menjadi penghalang (hijab) bagi perempuan itu dari api neraka. Seorang perempuan bertanya, "Dan dari dua orang anak?" Jawab Rasul, "(Ya)" dari dua orang anak.
Perempuan mana pun yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, maka ketiga anaknya itu akan menjadi dinding baginya dari api neraka." (HR. Bukhari dari Abu Sa'id Al Khudri).
"Anak-anak kecil (menjadi) kunang-kunang di dalam surga, seorang di antara mereka menemui ayahnya, memegang bajunya tidak berhenti sampai Allah memasukkan dia dan ayahnya ke dalam surga" (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah).
 Menurut Hadist Qudsi, Allah SWT berfirman pada hari kiamat kepada anak-anak : "Masuklah kalian ke dalam surga!" Anak-anak itu berkata : "Ya Rabbi (kami menunggu) hingga ayah ibu kami masuk." Lalu mereka medekati pintu surga! tapi tidak mau masuk ke dalamnya. Allah berfirman lagi : "Mengapa, Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah kalian kedalam surga!" Mereka menjawab : "Tetapi (bagaimana) orang tua kami?" Allah pun berfirman : "Masuklah kalian ke dalam surga bersama orang tua kalian." (Hadist Qudsi Riwayat Ahmad). Wallahu a'lam.
Sumber : Bulletin "Uswah" Bulletin Dakwah dan Informasi Pusdai Jabar
 
 

Selasa, 10 Januari 2012

Khufarat Bulan Shafar

Pada zaman Jahiliyah, ada kepercayaan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Kepercayaan atau mitos/tahayul tersebut langsung dibantah oleh Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw bersabda : " Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan bulan Shafar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa" (HR. Bukhari).
Salah satu amalan khufarat yang pernah muncul ialah "Pesta mandi Safar dengan keyakinan bisa menghapuskan dosa dan menolak bala. Khufarat bulan Safar selengkapnya antara lain larangan menikah dan pertunangan, menghalangi bermusafir atau berpergian jauh, Rabu minggu terakhir bulan Safar puncak hari sial, upacara ritual menolak bala dan buang sial di pantai, sungai atau rumah (Mandi Safar), menganggap bayi lahir bulan Safar bernasib malang, dll. Semuanya itu tidak benar dan umat islam wajib mengingkari khufarat tersebut."
Kesialan, naas, atau bala bencana dapat terjadi kapan saja, tidak hanya bulan Safar. Allah SWT menegaskan : "Katakanlah : "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk Kami, Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah: 51). Wallahu a'lam
 (Disadur dari : "Uswah" Buletin Dakwah dan Informasi Pusdai Jabar)